Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam dan Tragedi Trisakti
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month Kam, 21 Agu 2025
- comment 0 komentar

Foto: Istimewa
bogorplus.id – Indonesia mengalami sebuah tragedi kemanusiaan yang mencoreng lembaran sejarahnya, yaitu Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Trisakti. Peristiwa ini menyisakan luka yang dalam bagi bangsa, meninggalkan ingatan yang pahit mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rasisme, serta kekerasan.
Kerusuhan Mei 1998, yang merupakan bagian dari sebuah perubahan besar, mencatat sejumlah pelanggaran HAM yang sangat menyedihkan. Dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, suasana kerusuhan melanda berbagai kota di Indonesia, termasuk Jakarta dan Solo, mengguncang struktur masyarakat.
Krisis moneter yang terjadi pada 1997-1998 menjadi pemicu keresahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Ditengah ketegangan itu, aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti yang berlangsung pada 12 Mei 1998 menuntut adanya perubahan dan reformasi.
Empat mahasiswa Universitas Trisakti kehilangan nyawa akibat tembakan dalam aksi unjuk rasa yang awalnya damai. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
13 Mei 1998
Kerusuhan mulai merebak pada 13 Mei 1998, sehari setelah insiden di Trisakti yang merenggut nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti. Kemarahan masyarakat terhadap rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun serta krisis moneter yang melumpuhkan perekonomian, memuncak dalam demonstrasi di berbagai daerah.
Di Jakarta, aksi berkabung di depan Universitas Trisakti dihalangi oleh aparat keamanan, yang menyebabkan kemarahan massa. Truk sampah di perempatan jalan layang Grogol dibakar, rambu-rambu dicabut, dan pagar pembatas jalan dirusak, bahkan gedung dan kendaraan di area parkir Mal Ciputra menjadi sasaran kerusakan.
14 Mei 1998
Situasi di Jakarta semakin memanas pada 14 Mei 1998. Kerusuhan mulai menargetkan etnis Tionghoa, ditandai dengan tindakan penjarahan, pembakaran toko dan rumah, serta pelecehan seksual. Kebencian dan sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa yang sudah lama terpendam, terpicu oleh tuduhan tidak berdasar yang menyatakan bahwa mereka adalah penyebab krisis moneter.
15 Mei 1998
Puncak kerusuhan terjadi pada 15 Mei 1998. Sekitar 273 orang tewas terpanggang oleh api di dua pusat perbelanjaan yang dijarah dan dibakar massa, yaitu Sentra Plaza Klender di Jakarta Timur, yang dikenal sebagai Tragedi Mall Klender, dan Ciledug Plaza di Tangerang.
Kerusuhan dan penjarahan juga terjadi di depan gedung Fujifilm di Matraman, Jakarta, pada pertengahan Mei 1998. Akibat dari kerusuhan dan penjarahan ini, aktivitas sehari-hari warga ibu kota terhenti total saat itu. dok. TEMPO/Rully Kesuma
Bukan hanya di Jakarta, kerusuhan serupa juga melanda kota-kota lain seperti Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya. Di Surakarta pada 15 Mei 1998, ribuan perusuh menjarah dan membakar pabrik, mobil, rumah, serta toko-toko milik etnis Tionghoa.
Bank-bank terpaksa ditutup karena ancaman pembakaran, dan perusuh juga memblokir jalan dari Semarang menuju Surakarta. Kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa menjadi salah satu puncak kebiadaban, dengan banyak korban yang dilecehkan, disekap, bahkan dibunuh dengan kejam.
Kerusuhan Mei 1998 mengakibatkan total korban jiwa sekitar 1. 188 orang, dan setidaknya 85 wanita dari etnis Tionghoa dilaporkan mengalami pelecehan seksual. Luka dan trauma yang dialami oleh para korban masih terasa hingga kini.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni