Menyusuri Jejak Kuliner Nusantara dari Naskah Kuno hingga Era Global
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month Sel, 2 Sep 2025
- comment 0 komentar

bogorplus.id – Indonesia terkenal sebagai negara dengan berbagai macam makanan. Dari Sabang hingga Merauke, ada begitu banyak kuliner yang sulit untuk dijelaskan secara ringkas.
Fadly Rahman, M. A. , Dosen Program Studi Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa kuliner Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan lebih dalam dari sekadar cita rasa.
Keberagaman makanan di Nusantara tidak hanya disebabkan oleh aspek lokal, tetapi juga oleh berbagai pengaruh dari luar.
“Saya lihat kita bisa belajar sejarah dari makanan,” kata Fadly seperti yang dirangkum dari situs Unpad.
Kuliner Nusantara yang Ada Sejak Abad ke-10
Ahli di bidang sejarah kuliner Indonesia ini menjelaskan bahwa banyak referensi tentang makanan dalam naskah kuno di tanah air.
Naskah tersebut mencatat beberapa makanan khas nusantara yang telah ada sejak abad ke-10 Masehi, seperti pecel, sambal, rawon, kerupuk, dan dawet.
Baik pada masa lalu maupun sekarang, makanan tersebut masih dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Catatan sejarah mengenai kuliner di Indonesia berbeda dengan dokumentasi makanan luar negeri.
“Negara-negara dengan tradisi kuliner yang sudah maju didasarkan atas kuatnya tradisi untuk mencatat resep makanan. Berbeda dengan Indonesia, tradisi mencatat resep tidak dilakukan oleh para leluhur. Naskah kuno hanya mencantumkan nama-nama makanannya saja,” ujar Fadly.
Bukti Resep Kuliner Diwariskan dengan Baik
Meskipun catatan resep tidak sebaik negara lain, bukan berarti resep yang diwariskan oleh nenek moyang tidak terjaga hingga kini.
Fadly menjelaskan bahwa resep masakan tradisional tetap ada karena masyarakat Indonesia telah meneruskan resep tersebut secara lisan dari generasi ke generasi.
“Ungkapan seperti ‘jangan telalu banyak garam’, ‘sedikit gula’, inilah yang membedakan tradisi kuliner kita,” paparnya.
Dengan demikian, penulisan resep makanan nusantara terbilang menantang. Selain karena sedikitnya sumber tertulis, proses penulisan harus melibatkan rekonstruksi dari berbagai sumber dari setiap periode.
“Hal inilah yang dilakukan oleh para penulis resep di era kolonial. Mereka mendokumentasikan resep yang berkembang di masyarakat pribumi yang diterbitkan menjadi buku-buku masak,” tambah Fadly.
Kuliner Indonesia dan Diplomasi Budaya
Di era kolonial, bukan hanya resep yang ditulis, melainkan juga warisan gastronomi yang kemudian bertransformasi menjadi kuliner Indonesia.
Contoh warisan dari masa kolonial termasuk budaya jamuan prasmanan, serta penggunaan kursi, meja, dan alat makan saat makan.
Padahal, nenek moyang Indonesia tidak menggunakan kursi dan meja. Mereka menikmati makanan dengan duduk di lantai atau berlesehan.
“Budaya makan prasmanan ini ternyata diterapkan Soekarno di awal kemerdekaan sebagai alat diplomasi kebudayaan,” ungkap Fadly Rahman.
Dalam catatan sejarah, di tahun 1950-an, Soekarno pernah mengarahkan pengurus Dharma Wanita untuk menyajikan hidangan khas Nusantara dengan cara yang elegan.
Hidangan khas Indonesia disajikan dengan tampilan prasmanan dan menerapkan konsep tata cara makan yang baik.
Sejarah tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang luar biasa dan sangat berpotensi sebagai alat diplomasi.
“Tinggal bagaimana strateginya agar kuliner kita bisa naik panggung ke tingkat global,” kata Fadly.
Hentikan Menyebut Kuliner Jadul
Berkenaan dengan pelestarian kuliner Indonesia, Fadly mengusulkan agar kita tidak menyebut makanan khas Indonesia dengan istilah kuliner tradisional, kuliner jadul, atau kuliner dari masa lalu.
Menurut pandangannya, istilah seperti itu sebenarnya dapat mengancam keberadaan masakan Indonesia. Sebab, sebutan kuliner tradisional akan mudah tergerus oleh perkembangan kuliner modern.
“Saya amati, kalau kuliner tersebut disebut ‘jadul’ lambat laun akan kemudian hilang,” ujarnya.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni