Catatan Sejarah Meletusnya Gunung Salak, Ada Kemungkinan Meletus Lagi?
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month Sen, 14 Jul 2025
- comment 0 komentar

Foto: Istimewa
bogorplus.id – Pada malam antara tanggal 4 hingga 5 Januari 1699, Gunung Salak meletus disertai gempa bumi yang sangat hebat. Sebuah catatan dari tahun 1702 menjelaskan tentang dampak yang ditimbulkannya.
Silih Elingan, Kisah Letusan Gunung Salak 1699.
Dataran tinggi yang terletak antara Batavia dan Sungai Cisadane di belakang bekas keraton raja-raja Jakarta yang dikenal sebagai Pakuan, awalnya adalah hutan lebat. Setelah gempa bumi, kawasan tersebut berubah menjadi area yang luas dan kosong tanpa pepohonan.
Letusan tersebut menimbulkan adanya ‘belahan tengah’, terlihat dari jarak jauh berupa lembah besar yang terbuka ke arah utara. Saat terjadi letusan besar ini, material batu, pohon-pohonan, dan lumpur lahar mengalir deras menuju Cisadane, disertai dengan penyebaran batu-batu yang terpencar mengisi daerah lereng dan kaki gunung bagian utara hingga saat ini.
Lapisan tanah diselimuti tanah liat merah yang halus, serupa dengan yang biasa dipakai oleh para tukang. Di beberapa lokasi, tanah tersebut telah mengeras dan mampu menahan berat langkah yang melintas di atasnya, sementara di tempat lain, orang bisa terbenam hingga sedalam satu kaki.
Tempat bekas keraton Pakuan yang berada di antara Batavia dan Cisadane tidak pernah mengalami bencana lain yang mengakibatkan tanah tersobek dan terbelah menjadi retakan besar lebih dari satu kaki lebarnya.
Laporan lain menyebutkan bahwa aliran Sungai Ciliwung dekat muaranya terhalang sepanjang ratusan meter akibat lumpur yang terbawa. Van Riebeeck, yang melakukan pembersihan terhadap sumbatan itu, mengajukan permohonan agar tanah Bojong Manggis dan Bojong Gede diserahkan kepadanya sebagai imbalan.
Untuk menyelidiki dampak dari gempa ini, Kumpeni mengirimkan dalam tahun 1701 misi Ram dan Coops ke kaki Gunung Pangrango. Dari hasil survei ini ditemukan bahwa aliran Cikeumeuh tenggelam ke dalam tanah dan sobekan di Puncak Gunung Salak mengarah ke barat laut.
Diperkirakan bahwa tanah yang terbelah tersebut berada antara Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane. [Pengambilan batu dan pasir di daerah Ciapus saat ini merupakan warisan dari letusan Gunung Salak].
Tidak ada informasi mengenai keadaan warga di sepanjang aliran Ciliwung pada saat itu. Namun, pada tahun 1701, penduduk Kampung Baru masih mampu menuntun Ram dan Coops. Selain itu, Abraham van Riebeeck tidak mencatat apapun tentang dampak dari letusan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat yang masih sedikit ini tidak terganggu.
Pada tahun 1704, Van Riebeeck mendirikan sebuah tempat istirahat di Batutulis karena ia percaya bahwa Gunung Salak tidak lagi menakutkan. Saat ini, bangunan istirahat tersebut dikenal sebagai “Istana” Batutulis, yang didirikan oleh Presiden pertama RI, Bung Karno.
Letusan Gunung Salak berikutnya terjadi pada tahun 1761 dan 1780, tetapi kedua letusan ini tidak sebesar letusan yang terjadi sebelumnya pada tahun 1699.
Gunung Salak adalah gunung berapi jenis strato tipe A, yang terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Nama Salak ternyata bukan berasal dari nama buah, melainkan berasal dari kata Sanskerta ‘SALAKA’ yang berarti PERAK.
Tercatat ada beberapa letusan yang terjadi sejak tahun 1600-an, termasuk letusan pada tahun 1780 dan 1935. Sementara itu, letusan terakhir terjadi pada tahun 1938, berupa erupsi freatik di Kawah Cikuluwung Putri.
Gunung yang memiliki ketinggian 2221 m dari permukaan laut ini memiliki beberapa puncak. Puncak yang paling tinggi dikenal sebagai Salak I dengan ketinggian 2211 m dpl, diikuti oleh puncak Salak II yang mencapai 2180 m dpl, serta puncak Sumbul yang memiliki ketinggian 1926 m dpl.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi beberapa peristiwa gempa tektonik yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan aktivitas vulkanik di Gunung Salak.
Ada kemungkinan bahwa Gunung Salak dapat meletus lagi, dan hal ini masih menjadi objek penelitian oleh pihak-pihak yang berwenang. Meskipun demikian, potensi erupsi tetap ada karena gunung ini masih tergolong aktif. “Jadi, warga Jakarta harap waspada, suatu saat ia akan meletus! ”
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni