Benarkah Pedas Itu Rasa? Fakta di Balik Sensasi Panas Cabai
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month 3 jam yang lalu
- comment 0 komentar

bogorplus.id – Mungkin banyak orang di Indonesia yang sudah akrab dengan makanan pedas. Ada yang bahkan menyatakan tidak mau menikmati makanan jika tidak pedas. Ternyata, bagi para penyuka, makanan pedas memang sangat adiktif.
Namun, apakah pedas itu benar-benar ada? Atau hanya ilusi yang ditimbulkan oleh pikiran kita? Pada dasarnya, penelitian mengenai rasa pedas berkaitan erat dengan bagaimana otak merespons sensasi pedas tersebut.
Pedas merupakan rasa yang dihasilkan oleh senyawa alami, yang menciptakan sensasi panas ketika memakan cabai. Makanan dengan rasa pedas biasanya memiliki kandungan cabai yang cukup tinggi.
Banyak orang berpikir bahwa pedas berasal dari biji cabai. Namun, kenyataannya, rasa pedas ini disebabkan oleh zat bernama capsaicin.
Capsaicin adalah senyawa yang menghasilkan sensasi pedas dan panas ketika bersentuhan dengan mulut atau bagian tubuh yang lain. Zat ini terkandung dalam plasenta cabai.
Sensasi pedas yang muncul membawa berbagai manfaat, seperti meningkatkan detak jantung dan fungsi saraf, serta membantu mengatur aliran darah dalam tubuh (Prainata, 1999).
Sebenarnya, capsaicin tidak menghasilkan rasa pedas, melainkan sensasi panas atau terbakar di mulut dan lidah. Hal ini karena lidah manusia tidak memiliki reseptor yang khusus untuk mendeteksi rasa pedas.
Lidah hanya dibekali empat jenis reseptor untuk merasakan, yaitu manis, pahit, asam, dan asin. Jadi, pedas bukanlah rasa yang ada, melainkan sekadar sensasi terbakar dan panas.
Mengapa Sensasi Panas dan Terbakar Bisa Muncul?
Rasa panas dan terbakar yang kita sebut pedas ketika mengonsumsi makanan pedas tidak bisa dikenali oleh reseptor di lidah.
Sensasi pedas dari capsaicin diterima oleh papila pada lidah, sejenis tonjolan kecil yang berfungsi untuk merespons rasa.
Di papila terdapat reseptor saraf sensorik untuk panas tinggi yang dikenal dengan nama Transient Receptor Potential Vanilloid One, atau disingkat TRPV1.
Reseptor ini bertugas mengirim informasi ke otak bahwa ada sensasi kebakaran atau kepanasan saat terkena capsaicin.
Bagian otak yang menerima rangsangan dari TRPV1 adalah Lobus Parietal, bagian dari Cerebral Cortex. Lobus Parietal berhubungan erat dengan fungsi penerimaan pesan dari indera, termasuk sinyal yang diterima dari lidah saat terpapar capsaicin.
Oleh karena itu, pedas tidak bisa dikategorikan sebagai rasa seperti manis, asin, asam, dan pahit. Saat capsaicin mengenai papilla dan memberikan rangsangan, TRPV1 mengirimkan informasi ke otak yang terasosiasi dengan rasa sakit, seakan-akan lidah kita terbakar.
Sensasi panas dan terbakar ini mirip dengan perasaan kulit yang terbakar. Jadi, pedas lebih tepat digambarkan sebagai sensasi panas yang diterima oleh otak.
Reaksi Otak terhadap Sensasi Pedas
Saat zat capsaicin dari cabai bersentuhan dengan permukaan lidah, Transient Receptor Potential Vaniloid One (TRPV1) akan langsung mengirimkan sinyal tentang sensasi yang diterimanya ke area otak yang dikenal sebagai Lobus Parietal dalam Cerebral Cortex.
Setelah menerima sinyal tersebut, otak akan memberi tahu seluruh tubuh bahwa ada bagian yang merasakan “rasa terbakar,” yang dalam hal ini adalah mulut atau lidah akibat terpapar zat capsaicin saat mengonsumsi makanan pedas.
Selanjutnya, otak menginstruksikan bagian dan organ tubuh untuk memberikan respons atau reaksi otomatis guna merespons sensasi panas dan terbakar agar rasa tersebut dapat dikurangi.
Oleh karena itu, saat mengonsumsi makanan pedas, kita sering kali mengalami keringat, ingus, bahkan air mata.
Karena zat capsaicin memicu TRPV1 untuk mengirimkan sinyal rasa panas atau terbakar ke Lobus Parietal yang dirasakan sebagai nyeri, otak juga akan mengirim sinyal ke bagian Hipotalamus.
Hipotalamus memiliki peran dalam mengatur produksi hormon oleh kelenjar pituitary. Kelenjar pituitary sendiri berfungsi untuk mengeluarkan zat kimia berupa hormon yang dibutuhkan oleh tubuh.
Rasa nyeri ini segera direspons dengan dilepaskannya neurotransmitter yang dikenal sebagai hormon endorfin. Hormon endorfin ini bertugas mengendalikan rasa nyeri dan memberikan perasaan bahagia.
Di samping itu, Hipotalamus juga menginstruksikan Kelenjar Pituitary untuk memproduksi hormon dopamine yang berfungsi mengatur perasaan senang dan bahagia, sehingga rasa nyeri dan panas yang dialami sebelumnya menjadi terasa lebih menyenangkan. Oleh karena itu, banyak orang yang menjadi ketagihan dengan rasa pedas.
Uji Organoleptik Scoville
Seorang apoteker serta ahli kimia asal Amerika bernama Wilbur Scoville, berhasil menciptakan alat untuk mengukur tingkat kepedasan atau sensasi panas yang dihasilkan oleh cabai pada tahun 1912.
Alat tersebut dinamakan Uji Organoleptik Scoville, yang berfungsi untuk mengukur jumlah zat capsaicin yang terdapat dalam cabai.
Ia juga menciptakan skala untuk mengukur tingkat kepedasan berbagai jenis cabai, yang dikenal sebagai Skala Scoville, yang masih digunakan hingga hari ini.
Kehadiran alat untuk mengukur kepedasan sangat penting, karena berkaitan dengan preferensi konsumen terhadap makanan, di mana tidak semua orang menyukai cabai dengan tingkat kepedasan yang tinggi.
Selain itu, penentuan tingkat kepedasan yang tepat dari berbagai jenis capsaicinoid juga sangat penting untuk meningkatkan produksi obat-obatan yang menggunakan zat capsaicin.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni