Lonjakan Obesitas Sentral di Indonesia, Dampak Gaya Hidup dan Pola Makan Instan
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month Rab, 17 Sep 2025
- comment 0 komentar

bogorplus.id – Kasus penyakit tidak menular seperti obesitas dan diabetes meningkat secara signifikan. Kedua kondisi ini menjadi penyebab utama sejumlah masalah kesehatan serius seperti penyakit jantung, stroke, dan gangguan ginjal.
Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi, yang menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka obesitas sentral melonjak drastis dari 18,8 persen menjadi 36,8 persen pada tahun 2023. Obesitas sentral diartikan sebagai lingkar perut yang melebihi 80 cm untuk wanita dan 90 cm untuk pria.
Data dari pemeriksaan kesehatan gratis menunjukkan bahwa obesitas sentral adalah salah satu keadaan paling umum yang memicu terjadinya penyakit jantung dan stroke. Hal ini menyebabkan beban biaya BPJS Kesehatan meningkat, di mana 70 persen dari total penggunaan dana sebesar Rp 174,90 triliun dialokasikan untuk perawatan penyakit jantung.
Kenaikan angka ini tidak terlepas dari perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat yang kini lebih cenderung memilih makanan olahan dan cepat saji, seperti yang telah terjadi sebelumnya di Amerika Serikat dan Eropa. Menurut dr. Nadia, makanan siap saji biasanya memiliki kandungan garam, gula, dan lemak yang jauh melebihi batas aman.
“Tren ini terjadi di banyak negara, AS, Eropa itu sudah mengalami transisi pola konsumsi yang kita tahu banyak sekali mengkonsumsi makanan siap saji yang kemudian kalau dilihat dari sisi kalori garam, gula, lemak, (GGL) sebagian besar melebihi daripada yang seharusnya,” jelas dr. Nadia dalam sebuah webinar yang membahas pemasaran makanan tidak sehat, Kamis (10/7/2025).
Kondisi ini semakin memburuk di kalangan keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah, yang lebih banyak mengonsumsi makanan instan dan siap saji dibandingkan keluarga dari kelompok ekonomi atas. Penyebab utamanya adalah kemudahan akses dan harga yang lebih terjangkau.
Selain itu, kemudahan untuk memesan makanan secara online juga turut meningkatkan konsumsi makanan olahan dan cepat saji.
“Sehingga ini mendorong konsumsi pangan siap saji dan pangan olahan itu lebih banyak lagi,” tegasnya.
Berikut adalah data mengenai tren konsumsi pangan yang berisiko tinggi terhadap garam, gula, dan lemak:
1. Makanan manis
Masyarakat mulai menyukai makanan manis dengan peningkatan sebesar 6,5 persen. Pada tahun 2018, angka ini adalah 59,8 persen, kemudian naik menjadi 66,3 persen di tahun 2023 berdasarkan data survei kesehatan Indonesia 2023.
2. Minuman manis
Konsumsi minuman manis juga meningkat meskipun tidak signifikan, yaitu sebesar 3,8 persen dibandingkan tahun 2018, menjadi 52,5 persen.
3. Makanan berlemak tinggi kolesterol jahat (gorengan)
Tren mengonsumsi makanan berlemak seperti gorengan juga naik sebesar 4,5 persen, menjadi 62,7 persen di tahun 2023.
4. Makanan dengan bumbu penyedap
Banyak masyarakat yang mengonsumsi makanan yang diberi penyedap setiap hari. Ini meningkat 0,8 persen dari 22 persen menjadi 26,2 persen.
5. Mi instan, makanan instan
Dari semua jenis makanan di atas, mi instan dan makanan instan menjadi favorit masyarakat. Sekitar 94 persen masyarakat telah terbiasa mengonsumsi mi instan dan makanan instan pada tahun 2023.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni