Sejarah dan Keindahan Pura Parahyangan Agung Jagatkartta di Bogor
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month Kam, 7 Agu 2025
- comment 0 komentar

Foto: Instagram/ @explorebogor
bogorplus.id – Meja sesajian di halaman Pura Parahyangan Agung Jagatkartta mulai dibangun pada tahun 1995. Pura ini terletak di Jalan Nenas, Desa Warung Loa, Kecamatan Taman Sari di Bogor.
Pura Parahyangan Agung Jagatkartta resmi didirikan sebagai tempat ibadah melalui upacara Ngenteg Linggih. Proses pembangunannya berlangsung selama sepuluh tahun. Pendirian pura di kaki Gunung Salak dimulai dari keinginan kelompok umat Hindu yang menginginkan pelinggih di lokasi yang tenang dan sejuk.
Terdapat sebuah prasasti yang terbuat dari batu yang menjelaskan tentang sejarah berdirinya Pura Parahyangan Agung Jagatkartta. Tangga utama mengarah ke Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, yang diresmikan pada 19 September 2005.
Nama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta diinterpretasikan sebagai pura yang terletak di tempat indah untuk menyembah Tuhan. Lokasi puranya dipercaya sebagai tempat petilasan Prabu Siliwangi, raja Sunda dari masa kejayaan Kerajaan Hindu Pajajaran.
Selain sebagai tempat ibadah, Pura Parahyangan Agung Jagatkartta juga berfungsi sebagai destinasi wisata bagi mereka yang ingin merasakan suasana yang damai dan sejuk.
Proyek pembangunannya ditandai dengan pendirian sebuah candi di atas petilasan Prabu Siliwangi. Mandala Utama adalah bagian pura yang diperuntukkan khusus bagi umat Hindu yang ingin beribadah.
Para umat Hindu dapat terlihat sedang berdoa di Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Kata Parahyangan memiliki arti tempat bagi para Hyang Widhi, sementara Agung berarti besar.
Pelinggih adalah tempat untuk ber meditasi dan fokus kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan pintu utama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta hanya dibuka untuk umat Hindu.
Keberadaan pura di kaki Gunung Salak dimulai dari impian sekelompok umat Hindu yang mengharapkan pelinggih di tempat yang tenang dan sejuk. Bagi umat Hindu, Pelinggih adalah lokasi ibadah dan meditasi yang jauh dari keramaian, tempat untuk berkonsentrasi kepada Tuhan.
Impian ini semakin bisa terwujud berkat dukungan dari berbagai pihak dalam mendirikan pelinggih, yang kemudian berkembang menjadi hasrat untuk membangun pura yang lebih besar.
Pembangunan pura di kaki Gunung Salak dimulai pada tahun 1995. Proyek ini ditandai dengan pembangunan sebuah candi di lokasi petilasan Prabu Siliwangi, raja Sunda dari masa kejayaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Selama proses pembangunan, pura ini dikenal dengan nama Penataran Agung Gunung Salak.
Durasi proses pembangunan pura ini mencapai sepuluh tahun. Hingga akhirnya pada tahun 2005, pura ini diresmikan dengan nama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta.
Nama tersebut mengandung makna filosofis yang mendalam mengenai penciptaan alam semesta. Istilah Jagatkartta diambil dari gelar Sang Hyang saat Ida Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan alam semesta, serta menyebarkan ajaran Sang Hyang Catur Veda.
Meski penamaan pura tersebut berkaitan dengan asal mula alam semesta menurut filosofi, secara etimologis nama Parahyangan Agung Jagatkartta juga memiliki makna yang dalam. Parahyangan berarti lokasi para Hyang Widhi, sedangkan agung berarti besar atau mulia. Di sisi lain, Jagat berarti bumi dan Kartta berarti lahir.
Nama Taman Sari, diambil dari lokasi pura ini yang terletak di Kecamatan Tamansari, Bogor, di area yang tenang dan sejuk di kaki Gunung Salak. Maka, jika diartikan secara harfiah, nama Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Tamansari berarti pura yang berada di tempat yang indah untuk menghormati Tuhan Yang Maha Agung.
Peresmian pura yang berfungsi sebagai tempat beribadah bagi umat Hindu ditandai dengan upacara Ngenteg Linggih. Rangkaian acara ini dilaksanakan saat purnama Karo, Sukra Po Kuliantir, pada tanggal 19 Agustus 2005.
Selanjutnya, puncak dari upacara Ngenteg Linggih dilaksanakan pada 19 September 2005. Selama sepuluh tahun proses pembangunan, panitia berhasil menyelesaikan semua pelinggih.
Saat memasuki area pura, pengunjung akan diberikan kain yang harus diikatkan di pinggang. Setelah melepas sepatu, pengunjung diperbolehkan masuk ke pura melalui jalan samping. Begitu memasuki kawasan pura, pengunjung akan merasakan kesejukan udara pegunungan dan bisa menikmati keindahan bangunan pura yang dikelilingi oleh Gunung Salak.
Namun, tidak semua pengunjung diperkenankan untuk memasuki bangunan utama pura, yang hanya diperuntukkan bagi umat Hindu saat beribadah.
Secara keseluruhan, Pura Parahyangan Agung Jagatkartta terdiri dari berbagai jenis bangunan, termasuk pelinggih di Utamaning Utama dan Utama Mandala yang berbentuk padmasana.
Di samping itu, terdapat juga candi, angerurah agung, serta dua bale pepelik, bale pesamuan agung, penganyengan dalem Peed, bale paselang, pawedan, reringgitan, panjang, dan panggungan.
Setelah delapan tahun beroperasi, kini Pura Parahyangan Agung Jagatkartta yang terletak di kaki Gunung Salak tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah umat Hindu, tetapi juga menjadi objek wisata religi bagi mereka yang mencari suasana tenang dan sejuk.
Bahkan, para wisatawan yang datang juga berasal dari berbagai agama selain Hindu, yang sengaja datang untuk merasakan udara sejuk sambil mengagumi keindahan bangunan pura.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni