Psikolog di Puskesmas, Harapan Baru untuk Kesehatan Jiwa Rakyat
- account_circle Putri Rahmatia Isnaeni
- calendar_month 5 jam yang lalu
- comment 0 komentar

bogorplus.id – Tingginya tingkat prevalensi gangguan mental yang tidak sebanding dengan ketersediaan layanan kesehatan menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental di Indonesia cukup mencemaskan.
Hal ini semakin memburuk mengingat jumlah tenaga profesional yang menangani, seperti psikiater, perawat kesehatan mental, dan psikolog, masih tergolong sedikit.
Jika kita bandingkan dengan populasi Indonesia pada tahun 2011 yang mencapai sekitar 241 juta jiwa, jumlah psikiater yang ada hanya sekitar 600 orang dan psikolog klinis berjumlah sekitar 365 orang.
“Sementara permasalahan kesehatan jiwa ini menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan bagi individu, keluarga, masyarakat, dan negara karena berkaitan dengan kemandirian dan produktivitas penderita,” ungkap Prof. Dr. Sofia Retnowati, M. S. di Balai Senat.
Menurut Sofia Retnowati, tingginya jumlah penderita gangguan mental yang tidak didukung oleh sarana layanan kesehatan jiwa yang memadai menunjukkan adanya kesenjangan dalam penanganan.
Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memasukkan layanan kesehatan jiwa ke dalam pelayanan primer, yang di Indonesia dikenal sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).
“Tersedianya layanan kesehatan mental pada pelayanan primer ini berkat adanya perubahan paradigma pelayanan kesehatan jiwa masyarakat sebab paradigma lama penanganan gangguan mental lebih fokus pada pendekatan medis-biologis, sementara paradigma menekankan pada pendekatan biopsikososial,” jelasnya.
Sehubungan dengan hal ini, berbagai elemen masyarakat dan tenaga kesehatan di Indonesia telah menempatkan layanan kesehatan jiwa dalam konteks layanan primer.
Salah satu strategi yang diterapkan untuk memaksimalkan layanan kesehatan jiwa di Puskesmas adalah dengan menempatkan psikolog di fasilitas-fasilitas tersebut.
“Program ini telah dirintis Pemerintah Kabupaten Sleman bekerja sama dengan Fakultas Psikologi UGM sejak tahun 2004. Keberhasilan program ini menjadi model Pemerintah Kota Yogyakarta yang mengembangkan lebih lanjut hingga kini,” ujarnya.
Dalam pidato “Psikolog Puskesmas: Kebutuhan dan Tantangan bagi Profesi Psikologi Klinis di Indonesia”, istri Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, S. U. mengungkapkan bahwa suksesnya layanan psikologis di tingkat primer sangat dipengaruhi oleh adanya komunikasi yang baik antara psikolog dan petugas kesehatan lainnya.
Kendala yang sering muncul dalam kolaborasi ini adalah adanya “perbedaan budaya” antara layanan medis dan psikologis.
Untuk meningkatkan kolaborasi dengan profesi medis di pelayanan primer, psikolog diharapkan memiliki komitmen untuk bekerja sama dengan tim kesehatan dan mampu beradaptasi dengan lingkungan medis serta membangun pola pikir yang kolaboratif agar lebih efisien dalam mendampingi pasien.
Di samping itu, psikolog juga diharapkan dapat menyesuaikan proses penilaian dan intervensi sesuai dengan kebutuhan di pelayanan primer, serta mampu berkomunikasi secara efektif baik lisan maupun tulisan.
“Dituntut pula laporan psikologis harus bebas dari jargon serta membina hubungan baik dengan jaringan rujukan,” jelas ibu Muhammad Aulia Rahman, S. E. , M. Ec. Dev. dan dr. Muhammad Bherbudi Wicaksono.
Integrasi psikolog dalam layanan primer memang baru dimulai. Jelas masih banyak aspek yang perlu dipikirkan secara bersama. Walaupun demikian, sebagai seorang akademisi, Sofia Retnowati percaya bahwa langkah-langkah kecil ini, jika berhasil dilanjutkan, akan memberikan dampak yang luas hingga ke daerah terpencil.
“Jika integrasi ini menjadi sistem yang dapat diterapkan meluas, insya Allah akan menjadi karya nyata pengabdian psikolog untuk rakyat Indonesia,” tutupnya dalam pidato tersebut.
- Penulis: Putri Rahmatia Isnaeni